Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya didirikan
pada tahun 600-an M merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa
kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah
Indonesia, tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia
mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang
sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat
Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang
menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan India maupun Romawi.
George Coedes, seorang
sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.
Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di
Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibukota
Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam
karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese
Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di
Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota
Palembang sekarang.
Dari tepian Sungai
Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin meluas. Mencakup
wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat,
Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke
Tanah Genting Kra.
Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah
yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan
prasasti-prasasti.
Sumber Cina
Kunjungan I-sting,
seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun 671 M. Dalam
catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta
Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan
aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran agama
Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa
Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di
Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa
tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa
Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang
secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.
Sumber Arab
Orang-orang Arab
sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau Zabaq. Mas‘udi,
seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955
M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar,
dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus,
kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa
hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya
perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya
pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-kerajaan di India
seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan
bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama
Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda yang
bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai
gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan
Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping menjalin hubungan
dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan
Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini
menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.
Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal
mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang
terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada tahun 1913 M telah
menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan
Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap
Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri
biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Sumber Lokal atau Dalam Negeri
Sumber dalam negeri
berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar menggunakan
huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut:
Prasasti
Kota Kapur
- Prasasti Kota kapur, prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka.
- Prasasti Kedukan Bukit, prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan.
- Prasasti Talangtuo, prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
- Prasasti Karang Berahi, prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
- Prasasti Ligor, prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
- Prasasti Nalanda, prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
- Prasasti Telaga Batu, prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar