Teknologi
Persenjataan
Kemajuan
teknologi dan industri pertahanan semakin berkembang pasca Perang Dingin
terkait dengan semakin kompetitifnya pasar yang membuat industri-industri
pertahanan berusaha untuk mendapatkan konsumenbagi produk mereka. Kondisi ini
tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, liberalisasi yang dilakukan
terhadap industri pertahanan, khususnya di negara-negara Barat. Kedua,
munculnya perubahan besar dalam ruang lingkup peperangan yang membawa
pengaplikasian dari penemuan teknologi yang dikombinasikan dengan perubahan
secara mendasar dalam doktrin, operasional dan konsep organisasi militer, yang
secara mendasar terkait dengan karakter dan cara melakukan operasi militer.
Perubahan ini secara umum dikenal dengan Revolution in Military Affairs (RMA) (Szafranski dalam Sloan, 2003 : 3). Oleh
karena itu, negara-negara besar berupaya untuk mengembangkan persenjataan
sebagai produk industri pertahanan mereka dengan mengedepankan aplikasi
teknologi canggih.
Teknologi
dan industri pertahanan berkembang dengan sangat pesat pada masa Perang Dingin.
Kondisi ini terkait dengan terjadinya perlombaan senjata diantara dua negara
adidaya pada masa tersebut. Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, beberapa
pihak berasumsi bahwa perlombaan senjata akan berhenti dan teknologi serta
industri pertahanan tidak akan berkembang sepesat seperti masa Perang Dingin.
Hal ini mengacu pada tesis Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa dengan
berakhirnya Perang Dingin dunia akan menjadi lebih damai dan persenjataan tidak
lagi akan menjadi hirauan utama negara-negara. Namun, hal tersebut pada
kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Sekalipun dunia sudah tidak berada dalam
rivalitas antara dua negara adidaya, perkembangan dari teknologi dan industri
pertahanan tetap menempati posisi penting dalam kebijakan pertahanan sebuah
negara, khususnya bagi Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara adidaya
saat ini.
Perkembangan
teknologi dan industri militer global sebagai respon untuk mengatasi berbagai
ancaman baru yang muncul membawa konsekuensi terhadap transformasi dalam
jalannya peperangan. Perang telah melibatkan berbagai keunggulan persenjataan
yang dimiliki oleh suatu negara, yang didukung oleh akuisisi maupun kepemilikan
teknologi serta industri pertahanan. Kondisi ini akan sangat menentukan
keunggulan salah satu pihak dalam peperangan tersebut. Transformasi perang
tidak dapat dilepaskan dari perubahan tipe dan jumlah aktor yang terlibat,
instrumen yang digunakan, medan peperangan, bagaimana perang tersebut berlangsung,
serta tujuan atau kemenangan yang dicapai dalam peperangan.
Pada
dekade 1990-an, kekuatan pertahanan Indonesia mendapatkan sebuah ujian dimana
AS sebagai penyedia alutsista menerapkan embargo persenjataan. Kondisi ini
membuat Indonesia kesulitan untuk melakukan modernisasi alutsista, bahkan untuk
mengoperasikan alutsista yang telah ada pun menjadi sesuatu yang sangat sulit.
Sudah diketahui luas bahwa kondisi alutsista yang menjadi pendukung utama
sistem pertahanan Indonesia cukup mengkhawatirkan. Alutsista yang dioperasikan
TNI tersebut sebagian besar berusia antara 25-40 tahun; merekaterus saja
dirawat dan diperbaiki agar siap dioperasikan (Connie, 2007 : 102). Realitas ini menunjukan bahwa postur kekuatan
yang dimiliki oleh TNI masih jauh dari standar dan belum memenuhi kebutuhan
pertahanan Indonesia.
TNI-AU
saat ini mengalami kesulitan dalam hal
ketersediaan dan kemampuan radar maupun pesawat tempur sebagai ujung
tombakupaya mengatasi ancaman-ancaman tersebut. TNI AU hanya bertumpu kepada
pesawat tempur F-16 A/B yang didatangkan dari AS pada periode tahun 1990-an,
yang baru dapat kembali sepenuhnya beroperasi pada tahun 2006 setelah AS
mencabut embargo persenjataan terhadap Indonesia. Meskipun saat ini TNI telah
mendatangkan pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su- 30 dari Rusia, secara
kuantitas kemampuan persenjataan yang dimiliki belum mampu mencakup seluruh
wilayah Indonesia.
TNI-AL
mengalami hal yang serupa. Saat ini TNI-AL tidak memiliki cukup armada untuk
mengamankan wilayah perairan Indonesia. Alusista TNI-AL masih memberi tempat
kepada kapal-kapal perang produksi lamaeks Jerman Timur dan Belanda. Bahkan
untuk negara maritim seperti Indonesia, TNI-AL hanya memiliki dua unit kapal
selamyang tentu saja belum memadai untuk membentengi wilayah laut Indonesia.
Angkatan laut negara-negara tetangga maupun negara lain telah memiliki
alutsistayang memadai untuk mempertahankan wilayah lautan mereka. Saat ini tren
yang muncul adalah perlombaan negara-negara untuk membangun angkatan laut
dengan kategori blue waters navy.
Kondisi
alutsista yang dimiliki oleh TNI-AD saat ini pada umumnya merupakan pengadaan
lama yang dibuat antara tahun 1940 hingga 1986. Sebagian besar alutsista ini
suku cadangnya tidak tersedia, bahkan pabrik yang membuatnya sudah tidak memproduksi
lagi (Subekti, 2012 : 21). Meskipun
kemudian TNI-AD berfokus pada kemampuan anggota atau sumber daya manusia, namun
keberadaan alutsista yang memadai menjadi kebutuhan mendesak seiring dengan
perkembangan teknologi pertahanan dalam ranah global. Bagi TNI-AD, kebutuhan
mendesak itu meliputi kendaraan angkut personil baik kendaraan darat maupun
pesawat serta artileri medan dan artileri pertahanan udara. Di samping itu,
tuntutan akan modernisasi senjata perorangan juga menjadi fokus karena sebelum
menggunakan senjata SS-1 buatan PT. Pindad sebagai standar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar