Selasa, 20 Agustus 2019

Sejarah Peminatan Kelas XII IPS



Teknologi Persenjataan

Kemajuan teknologi dan industri pertahanan semakin berkembang pasca Perang Dingin terkait dengan semakin kompetitifnya pasar yang membuat industri-industri pertahanan berusaha untuk mendapatkan konsumenbagi produk mereka. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, liberalisasi yang dilakukan terhadap industri pertahanan, khususnya di negara-negara Barat. Kedua, munculnya perubahan besar dalam ruang lingkup peperangan yang membawa pengaplikasian dari penemuan teknologi yang dikombinasikan dengan perubahan secara mendasar dalam doktrin, operasional dan konsep organisasi militer, yang secara mendasar terkait dengan karakter dan cara melakukan operasi militer. Perubahan ini secara umum dikenal dengan Revolution in Military Affairs (RMA) (Szafranski dalam Sloan, 2003 : 3). Oleh karena itu, negara-negara besar berupaya untuk mengembangkan persenjataan sebagai produk industri pertahanan mereka dengan mengedepankan aplikasi teknologi canggih.

Teknologi dan industri pertahanan berkembang dengan sangat pesat pada masa Perang Dingin. Kondisi ini terkait dengan terjadinya perlombaan senjata diantara dua negara adidaya pada masa tersebut. Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, beberapa pihak berasumsi bahwa perlombaan senjata akan berhenti dan teknologi serta industri pertahanan tidak akan berkembang sepesat seperti masa Perang Dingin. Hal ini mengacu pada tesis Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin dunia akan menjadi lebih damai dan persenjataan tidak lagi akan menjadi hirauan utama negara-negara. Namun, hal tersebut pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Sekalipun dunia sudah tidak berada dalam rivalitas antara dua negara adidaya, perkembangan dari teknologi dan industri pertahanan tetap menempati posisi penting dalam kebijakan pertahanan sebuah negara, khususnya bagi Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara adidaya saat ini.
Perkembangan teknologi dan industri militer global sebagai respon untuk mengatasi berbagai ancaman baru yang muncul membawa konsekuensi terhadap transformasi dalam jalannya peperangan. Perang telah melibatkan berbagai keunggulan persenjataan yang dimiliki oleh suatu negara, yang didukung oleh akuisisi maupun kepemilikan teknologi serta industri pertahanan. Kondisi ini akan sangat menentukan keunggulan salah satu pihak dalam peperangan tersebut. Transformasi perang tidak dapat dilepaskan dari perubahan tipe dan jumlah aktor yang terlibat, instrumen yang digunakan, medan peperangan, bagaimana perang tersebut berlangsung, serta tujuan atau kemenangan yang dicapai dalam peperangan.
Pada dekade 1990-an, kekuatan pertahanan Indonesia mendapatkan sebuah ujian dimana AS sebagai penyedia alutsista menerapkan embargo persenjataan. Kondisi ini membuat Indonesia kesulitan untuk melakukan modernisasi alutsista, bahkan untuk mengoperasikan alutsista yang telah ada pun menjadi sesuatu yang sangat sulit. Sudah diketahui luas bahwa kondisi alutsista yang menjadi pendukung utama sistem pertahanan Indonesia cukup mengkhawatirkan. Alutsista yang dioperasikan TNI tersebut sebagian besar berusia antara 25-40 tahun; merekaterus saja dirawat dan diperbaiki agar siap dioperasikan (Connie, 2007 : 102). Realitas ini menunjukan bahwa postur kekuatan yang dimiliki oleh TNI masih jauh dari standar dan belum memenuhi kebutuhan pertahanan Indonesia.
TNI-AU saat ini mengalami kesulitan  dalam hal ketersediaan dan kemampuan radar maupun pesawat tempur sebagai ujung tombakupaya mengatasi ancaman-ancaman tersebut. TNI AU hanya bertumpu kepada pesawat tempur F-16 A/B yang didatangkan dari AS pada periode tahun 1990-an, yang baru dapat kembali sepenuhnya beroperasi pada tahun 2006 setelah AS mencabut embargo persenjataan terhadap Indonesia. Meskipun saat ini TNI telah mendatangkan pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su- 30 dari Rusia, secara kuantitas kemampuan persenjataan yang dimiliki belum mampu mencakup seluruh wilayah Indonesia.
TNI-AL mengalami hal yang serupa. Saat ini TNI-AL tidak memiliki cukup armada untuk mengamankan wilayah perairan Indonesia. Alusista TNI-AL masih memberi tempat kepada kapal-kapal perang produksi lamaeks Jerman Timur dan Belanda. Bahkan untuk negara maritim seperti Indonesia, TNI-AL hanya memiliki dua unit kapal selamyang tentu saja belum memadai untuk membentengi wilayah laut Indonesia. Angkatan laut negara-negara tetangga maupun negara lain telah memiliki alutsistayang memadai untuk mempertahankan wilayah lautan mereka. Saat ini tren yang muncul adalah perlombaan negara-negara untuk membangun angkatan laut dengan kategori blue waters navy.
Kondisi alutsista yang dimiliki oleh TNI-AD saat ini pada umumnya merupakan pengadaan lama yang dibuat antara tahun 1940 hingga 1986. Sebagian besar alutsista ini suku cadangnya tidak tersedia, bahkan pabrik yang membuatnya sudah tidak memproduksi lagi (Subekti, 2012 : 21). Meskipun kemudian TNI-AD berfokus pada kemampuan anggota atau sumber daya manusia, namun keberadaan alutsista yang memadai menjadi kebutuhan mendesak seiring dengan perkembangan teknologi pertahanan dalam ranah global. Bagi TNI-AD, kebutuhan mendesak itu meliputi kendaraan angkut personil baik kendaraan darat maupun pesawat serta artileri medan dan artileri pertahanan udara. Di samping itu, tuntutan akan modernisasi senjata perorangan juga menjadi fokus karena sebelum menggunakan senjata SS-1 buatan PT. Pindad sebagai standar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar