Selasa, 09 April 2019

Demokrasi Terpimpin

1. Lahirnya Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Demokrasi Liberal dinilai telah gagal mewujudkan stabilitas politik serta perbaikan ekonomi. Atas dasar itulah Presiden Soekarno mengambil alih kepemimpinan pemerintah melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Saat itu Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Peristiwa yang mendorong keluarnya dekrit presiden adalah tidak berhasilnya Sidang Konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar. Penyelenggaraan Pemilu I tanggal 29 September 1955 (untuk memilih anggota DPR) dan tanggal 15 Desember 1955 (untuk memilih anggota konstituante) tidak dapat mengatasi kondisi Negara yang labil akibat pergolakan di daerah-daerah. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan Konstitusi RIS dan UUD 1945 yang dirancang dan disusun oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia waktu itu. Anggota DPR yang terdiri dari puluhan wakil partai terpecah-pecah dalam berbgai ideologi yang sukar disatukan. Sementara itu, di sekalangan masyarakat, sangat kuat gerakan dalam demontrasi dan petisi untuk menuntut diberlakukannya kembali UUD 1945. Menyikapi keadaan, Presiden Soekarno pada tanggal 25 April 1959 menyampaikan amanat kepada Konstituante yang isinya anjuran kepala Negara dan kepala pemerintahan untuk kembali ke UUD 1945. Sidang Konstituante yang menyikapi amanat presiden tersebut menyepakati untuk melaksanakan pemungutan suara untuk menetapkan UUU1945 menjadi UU Republik Indonesia. Sidang yang dilaksanakan 30 Mei 1959, mayoritas menghendaki kembali kepada UUD 1945. Namun, jumlah suara ini tidak memenuhi ketentuan dua pertiga dari jumlah suara yang masuk sebagaimana ketentuan UUDS 1950. Sidang selanjutnya tanggal 1 dan 2 Juni 1959 juga gagal mencapai dua pertiga. Dalam keadaan yang demikian, Penguasa Perang Pusat melarang kegiatan politik. Larangan ini tertuang dalam peraturan Nomor PRT/PEPERLU/040/1959, tanggal 3 Juni 1959. Dampak dari larangan ini, Konstituante menjadi reses. Dalam keadaaan yang masih tak menentu, beberapa fraksi menyatakan tidak akan menghadiri siding selanjutnya. Situasi keamanan Negara dalam kondisi gawat, pemberontakan-pemberontakan daerah terus terjadi. Dengan tujuan untuk menciptakan ketatanegaraan, menjaga persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta keberlangsungan pembangunan semesta menuju mnasyarakat adil dan makmur, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Dengan ini menyatakan dengan khidmat : Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya; Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Menetapkan pembubaran Konstituante. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagfi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat Indonesia Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang SOEKARNO Dengan keluarnya dekrit presiden ini, pada tanggal 10 Juli 1959, Kabinet Djuanda dibubarkan. Selanjutnya, dibentuk kabinet baru yang perdana menterinya adalah presiden. Kabinet ini mempunyai tiga tugas pokok yaitu program sandang,pangan,keamana dan penyelesaian Irian Barat Sistem Politik Demokrasi Terpimpin Demokrasi Terpimpin ditafsirkan dari Sila ke empat Pancasila yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kata Dipimpin kemudian ditafsirkan bahwa demokrasi dipimpin oleh Presiden. Selanjutnya dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dibentuklah MPRS yang anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. Anggota MPRS terdiri anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Wakil Golongan Karya yang diketuai oleh Chaerul Shaleh. Dengan tugasnya menetapkan GBHN. Salah satu ketetapan MPRI adalah mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi(PBR). DPA dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 Tahun 1959. DPA dipimpin langsung Presiden dan Wakil Ketua adalah Roeslan Abdulgani. Kewajiban Dewan ini adalah menjawab pertanyaan Presiden dan mengajukan usul kepada Pemerintah. Pelantikan DPA dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1959 bersamaan dengan Pelantikan Muh. Yamin sebagai Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), dan Sultan HB IX sebagai Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara. Pada mulanya DPR hasil Pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan Presiden Soekarno namun kemudian mereka menolak APBN 1960 yang diajukan Pemerintah. Akibat penolakan tersebut dikeluarkan Penpres No. 3 Tahun 1960 yang menyatakan Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Soekarno telah berhasil menyusun Anggota DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yang penyusunan anggota di Tampak Siring Bali yang diwakili dari PNI, NU, PKI sedangkan Kolonel Wiluyo Puspo Yudo mewakili TNI AD. Pelantikannya dilakukan tanggal 25 Juni 1960 Dalam Pidato Presiden saat pelantikan DPR GR disebutkan bahwa tugas DPR GR adalah melaksanakan manipol (manifestasi politik), merealisasi amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin Dalam Pelantikan Wakil-wakil Ketua DPR GR tanggal 5 Januari 1961 Presiden Soekarno menjelaskan lagi bahwa kedudukan DPRGR adalah Pembantu Presiden Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan Pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggung jawaban atas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam merencanakan Sistem Demokrasi Terpimpin. Dalam sidang bulan September 1959 DPA mengusulkan kepada Pemerintah agar Pidato Presiden itu dijadikan GBHN dan diberi nama “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol RI). Pengesahan sebagai GBHN melalui penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 selanjutnya melalui ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan bahwa Manifesto Politik itu menjadi GBHN. Dalam ketetapan itu disebutkan pula bahwa Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalan Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 dimuka sidang umum PBB yang berjudul “To Build The Word a New (Membangun Dunia Kembali)” merupakan pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Reaksi-reaksi : Perkembangan politik saat itu menimbulkan reaksi-reaksi politik antaralain dari NU dan PNI. Beberapa tokoh NU mengecam pembubaran DPR hasil Pemilu 55 dan mengancam akan menarik pencalonan anggota-anggotanya di DPR GR, akan tetapi setelah jumlah kursi ditambah untuk NU sikap mereka menjadi lunak namun Rois Aam Kyai H. Wahab Hazbullah menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk dengan PKI dalam kabinet. Dan Nu menolak kabinet Nasakom. Dari kalangan PNI muncul dari Mr. Sartono, Ketua DPR hasil Pemilu 1955 dan Mr. Ishaq Tjokro Adi Suryo. Reaksi juga datang dari Prawoto Mangku Sasmito (Masyumi) dan Soetomo (Parindra) melalui surat yang ditujukan kepada MA tanggal 22 Juni 1960 yang isinya pembentukan kabinet oleh Ir. Soekarno merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Para tokoh yang menentang pembentukan DPRGR tergabung dalam Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU Selanjutnya melalui Penpres No. 13 Tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk Front Nasional yaitu suatu organisasi masa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi yang terkandung dalam UUD 1945. Pembentukan ini melalui keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962 yang diketuai oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1964 TNI dan Polisi dipersatukan menjadi ABRI yang tujuannya adalah mengembalikan peran sosial politik seperti zaman perang kemerdekaan. ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil di MPRS. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini Presiden Soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan (balance of power) dengan semboyan “Politik adalah Panglima” dan Presiden mengambil alih secara langsung Pimpinan Tertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI). a. Naskom Dan Peranan PKI Perkembangan politik dalam Demokrasi Terpimpin terpusat pada Presiden Soekarno, dengan TNI AD dan PKI sebagai pendukung utamanya. PKI mendominasi Demokrasi Terpimpin dengan landasan Manipol. PKI menyatakan bahwa Revolusi belum selesai, dengan dalih itulah PKI mengajak rakyat untuk menyelesaikan tahapan-tahapan Revolusi yakni dari tahap Nasional Demokratis dan tahap sosialistis. Ajaran Presiden Soekarno tentang Nasakom sangat menguntungkan PKI ka rena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia, bahkan Presiden Soekarno menganggap aliansi dengan PKI sangat menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan dalam Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan Manipol Pada puncaknya PKI mendesak salah satu satelit mereka yakni Barisan Tani Indonesia untuk melakukan aksi-aksi sepihak terutama menyangkut masalah Land Leform, sehingga terjadi peristiwa bandar betsi di Sumatra Utara yang mengakibatkan Pilda Sujono dianiaya sampai mati oleh PKI dan peristiwa jengkol. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memantapkan pembinaan keamanan teritorial oleh TNI AD, sedangkan tujuan politiknya adalah menguasai desa untuk mengepung kota seperti yang diajarkan Mautsetung. Reaksi-reaksi terhadap Nasakom dan PKI,Sebagai reaksi teror yang dilakukan oleh PKI dikalangan budayawan munculah Manifestasi Kebudayaan (Manikebud) sedangkan dari kalangan wartawan dan penerbit surat kabar munculah kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). PKI juga menyusup ke dalam PNI sehingga PNI pecah menjadi dua separuh yang terbesar di bawah Ali Sastroamidjojo yang disusupi oleh PKI (Ir. Surahman). Sedangkan PKI yang berpaham Marhaines Sejati dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya yang dikenal dengan PNI OSA-USEP, sedangkan PNI Ali Sastro Amidjojo – Surahman dikenal dengan nama PNI ASU. Salah satu kekuatan yang masih menjadi penghalang PKI adalah ABRI oleh karena itu PKI berusaha untuk mengusai ABRI dengan cara menyusupkan kader-kadernya dan membina simpatisan serta menjelekkan/ memfitnah pimpinan ABRI. b. Dari Non Blok ke Nefo-Oldefo Pada awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Indonesia cukup berperan aktif dalam hal-hal kegiatan Internasional, antara lain : 1. Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo yang tergabung dalam UNOC United Nation Operation Congo) 2) Tanggal 30 September 1960 Presiden Soekarno berpidato dalam SU PBB yang berjudul “To Build The Word a New” yang menguraikan tentang Pancasila, Irian Barat, 3) Kolonialisme, Peredaan Perang Dingin dan Perbaikan Organisasi PBB. 4) Memprakarsai gerakan Non Blok. 5) Sebagai tuan rumah ASIAN GAMES IV di Jakarta (24 Agustus – 4 September 1962). Hubungan dengan negara-negara barat semakin renggang karena mereka dianggap pasif dalam pembebasan Irian Barat. Sebaliknya hubungan ke Timur semakin erat karena Soviet dan Cina bersedia memberi bantuan dalam hal perlengkapan militer. Selanjutnya Indonesia mengkondisikan adanya 2 kubu kekuatan dunia yaitu : 1. Oldefo (Old Est ablishid Forces) yaitu Kubu Negara Kapitalis Imperialis. 2. Nefo (New Emerging Forces) yaitu Kubu Negara Tertindas yang progresif 2) Revolusioner menentang imperialisme dan Neokolonialisme. Mulai saat itu Indonesia bersikap konfrontatif terhadap Negara-negara Barat. Diantara sikap konfrontatif itu adalah Konfrontasi terhadap Malaysia yang dianggap sebagai Proyek Nekolin (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Presiden Soekarno menentang keras pembentukan federasi Malaysia dengan menggabungkan negara-negara bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yaitu Persatuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak Dalam rangka menggayang Malaysia tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta Presiden Soekarno mengumumkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yaitu : 1) Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia 2) Bantu Perjuangan Revolusioner Rakyat Malaysia, Singapura, Sabah dan Serawak, serta Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia Seiring dengan pelaksanakan politik Nefo Oldefo ini pada masa Demokrasi Terpimpin juga dijalankan Politik Mercu Suar yang berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia Realisasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar dan spektakuler yang banyak menelan biaya miliaran rupiah misalnya diselenggarakannya Ganefo (Games of The New Emerging Forces) untuk itu dilaksanakan pembangunan komplek olahraga senayan. Sistem Ekonomi Terpimpin Untuk melaksanakan pembangunan di bawah Kabinet Karya dikeluarkan Undang-undang Nomor 80 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1958 tentang Pembentukan Dewan Perancang Nasional di bawah Pimpinan Muh. Yamin yang beranggotakan 80 orang. Pada tahun 1963 Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (BAPENAS) yang dipimpin Presiden Soekarno dengan tugas menyusun Rencana Jangka Panjang dan Tahunan baik Nasional maupun Daerah, mengawasi, dan menilai pelaksanaan pembangunan. Pada masa ini inflasi sangat tinggi barang-barang umumnya naik 40%. Untuk mengatasi masalah ini dikeluarkan Deklarasi Ekonomi dengan tujuan untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Ekonomi Terpimpin Presiden Soekarno mempersatukan semua Bank Negara ke dalam Bank Sentral, untuk itu dikeluarkan Penpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal milik negara. Tugas Bank tersebut sebagai Bank Sirkulasi, Bank Sentral, dan Bank Umum. Contoh Bank-bank yang dilebur adalah Bank Koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Negara, Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Selanjutnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaannya masing-masing. Perjuangan Dan Pengembalian Irian Jaya Perjuangan Diplomasi 1. Upaya Perundingan dengan Belanda Menurut ketentuan KMB Masalah Barat ditunda penyelesaiannya setahun kemudian. Oleh karna itu, pd waktu berlangsung upacara pengakuan kedaulatan, wilayah Irian Barat tdk termasuk sbg daerah RIS. Berdasarkan keputusan KMB, Semestinya pd akhir thn 1950 sdh ad upaya Belanda utk mengembalikan Irian Barat ke Indonesia. Akan tetapi Belanda tampak ingin tetap mempertahankan Irian Barat. Oleh karma itu Indonesia berusaha mengembalikan Irian Barat melalui upaya diplomasi & berunding dgn Belanda secara langsung. Bbrp cabinet pd masa demokrasi Sliberal jg memiliki program pengembalian Irian Barat, sehingga setiap cabinet mencoba melakukan perundingan dgn Belanda, misalnya : Kabinet Natsir, Sukiman, Ali Sastroamijoyo, Burhanuddin Harahap. Pd masa kabinet Burhanuddin Harahap diadakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Anak Agung dgn Menteri Luar Negeri Belanda Luns di Den Haag. 2 .Upaya Diplomasi Melalui PBB Sejak 1953, usaha melalui forum PBB dilakukan Indonesia. Oleh Indonesia, masalah Irian Barat setiap thn diusulkan utk dibahas dlm Sidang Umum PBB. Namun itu tetap tdk berhasil sampai dgn Desember 1957, karma dlm pemungutan suara, pendukung Indonesia tidak mencapai 2/3 jmlh suara di Sidang Umum PBB Perjuangan Melalui Jalur Politik : Bertepatan dengan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI Ke- 11, tanggal 17 Agustus 1956, Kabinet Ali Sastroamijoyo membentuk Pemerintahan Sementara Irian Barat. Tujuannya adalah pernyataan pembentukan Provinsi Irian Barat sebagian bagian dari RI. Provinsi Irian Barat yang baru terbentuk terdiri atas wilayah yang masih di duduki Belanda, ditambah daerah Tidore, Oba, Patani, & Wasile di Maluku Utara dengan pusat pemerintahan berada di Soasiu, Tidore, Maluku. Sebagai gubernurnya Zainal Abidin Syah(Sultan Tidore). Pelantikan dilaksanakan pd 23 September 1956. Akibat dr pembentukan pemerintahan sementara Provinsi Irian Barat, Belanda makin terdesak secara politis. Selain itu, Belanda menyadari bahwa Irian Barat smerupakan bagian Indonesia yg berdaulat. Perjuangan Melalui Jalur Ekonomi : Pada upaya perjuangan pengembalian Irian Baratmelalui Sidang Umum PBB pd Thn 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio menyatakan akan menempuh jalan lain. Tanggal 18 November 1957 diadakan gerakan pembebasan Irian Barat dengan melakukan rapat umum di Jakarta. Rapat ini dilanjutkan dgn pemogokan total oleh kaum buruh yg bekerja di perusahaan Belanda pd tanggal 2 Desember 1957. Selanjutnya, terjadin serentetan pengambilalihan modal & berbaga perusahaan milik Belanda. Akan tetapi gerakan itu diatur oleh pemerintah dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Thn 1958. a. Penyelesaian Lewat Jalur Diplomasi Upaya pembebasa Irian Barat melalui jalan Diplomasi telah di mulai oleh PemerintahRI sejak tahun 1950 pada masa Kabinet Natris dan menjadi program setiap kabinet selanjutnya. Namun, usaha ini menemui kegagalan. Kemudian pada tahun 1951 diadakan perundingan bilateral yang membahas masalah Uni Indonesia-Belanda dan masalah Irian Barat, akan tetapi tadak membawa hasi. Bahkan pada tahun 1952 Belanda dengan persetujuan parlemennya memasukkan Irian Barat sebagai bagian dari wilayahnya. Oleh karena itu, sejak tahn 1954 setiap tahun Indonesia membawa masalah Irian Barat di dalam acara Sidang Majelis Umum PBB. PADA TAHUN 1954, Kainet Ali-Wongso membawa masalah Irian Baratke dalam Majelis Umum PBB, tetapi tidak juga memperoleh hasilyang berarti. Pada masa Pemerintah Kabinet Burhanuddin Harahap, Belanda menanggapi bahwa Irian Barat merupakan masalah intern antar Indinesia-Belandas sehingga tidak perlu di selesaikan melalui forum PB. Pada Sidang Majlis Umum tahun 1957 Mentri Luar Negri Republik Indonesia menyatakan bahwa pihak Indonesia akan menempuh jalan lain apabila Sidang Umum ke-12 tersebut tidak berhasil menyetujui resolusi tentang Irian Barat Akan tetapi negara-negara Barat masih teguh mendukung posisi Belanda. Adanya perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur semakin memperkuat sikap negara-negara Barat. Sementara itu dalam KAA yang di adakan di Bandung pada tanggal 18-24 Desember 1955, Indonesia mendapat dukungan. Negara-negara peserta KAA mengakui bahwa Irian Barat merupan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Konfrontasi Ekonomi Sejak tahun 1957 Indonesia melancarkan aksi konfrontasi dalam upaya pembebasan Irian Barat. Jalan konfrontasi yang pertama ditempuh adalah konfrontasi bidang ekonomi. Bentuk konfrontasi ekonomi dilakukan dengan tindakan-tindakan berikut : 1) Nasionalisasi de javasche Bank menjadi Bank Indonesia tahun 19512) 2) Pemerintah Indonesia melarang maskapai penerbangan Belanda (KLM) melakukan penerbangan dan pendaratan di wilayah Indonesia. 3) Pemerintah Indonesia melarang beredarnya terbitan berbahasa Belanda. 4) Pemogokan buruh secara total pada perusahan-perusahaan Belanda di Indonesia yang memuncak pada tanggal 2 Desember 1957. 5) Semua perwakilan konsuler Belanda di Indonesia dihentikan mulai 5 Desember 1957 Pada saat itu juga dilakukan aksi pengambilalihan atau nasionalisasi secara sepihak terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Netherlandsche Handel Maatscappij (NHM) menjadi Bank Dagang Negara, Bank Escompto, dan percetakan de Unie. Tindakan Indonesia yang mengambil alih seluruh modal dan perusahaan Belanda menimbulkan kemarahan Belanda, bahkan negara-negara Barat sangat terkejut atas tindakan Indonesia tersebut. Akibatnya hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang, bahkan PBB tidak lagi mencantumkan masalah Irian Barat dalam agenda sidangnya sejak tahun 1958. c. Konfrontasi Politik Di samping melalui konfrontasi ekonomi, pemerintah RI juga melakukan konfrontasi politik. Pada tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB yang dikukuhkan dalam UU No 13 tahun 1956. Kemudian untuk mengesahkan kekuasaannya atas Irian Barat, maka pada tanggal 17 Agustus 1956 pemerintah Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukotanya Soa Siu. Wilayahnya meliputi wilayah yang diduduki Belanda serta daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile. Gubernurnya yang pertama adalah Zainal Abidin Syah. Selanjutnya dibentuk Partai Persatuan Cenderawasih dengan tujuan untuk dapat segera menggabungkan wilayah Irian Barat ke dalam RI. Pada tanggal 4 Januari 1958 pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Tujuannya untuk mengerahkan massa dalam upaya pembebasan Irian Barat. Ketegangan Indonesia-Belanda makin memuncak ketika Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. d. Konfrontasi Militer / Konfrantasi Total Untuk meningkatkan perjuangan, Dewan Pertahanan Nasional merumuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang dibacakan Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi dari Trikora tersebut adalah : 1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda. 2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat. 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Sebagai tindak lanjut dari Trikora, pemerintah mengambil langkah-langkah berikut. 1) Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru dengan ibukota Kota Baru. 2) Membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 13 Januari 1962. Sebagai Panglima Komando Mandala ditunjuk Mayjen Soeharto. Markasnya berada di Makasar. Berikut ini tugas Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. 1) Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi militer. 2) Menciptakan daerah bebas secara defacto atau mendudukkan unsur kekuasaan RI di Irian Barat. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka Panglima Mandala menyusun strategi Panglima Mandala. Berikut ini tahapan-tahapan dalam strategi Panglima Mandala tersebut : 1) Sampai tahun 1962, fase infiltrasi dengan memasukkan 10 kompi sekitar sasaran tertentu. 2) Awal tahun 1963, fase eksploitasi dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, dan menduduki semua pos pertahanan musuh 3) Awal tahun 1964, fase konsolidasi dengan mendudukkan kekuasaan-kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat. Pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi peristiwa Laut Aru. Ketiga MTB yaitu MTB RI Macan Tutul, MTB RI Harimau, dan MTB Macan Kumbang diserang oleh Belanda dari laut dan udara. Ketika itu ketiga kapal sedang mengadakan patroli di Laut Aru. Komodor Yos Sudarso segera mengambil alih komando MTB Macan Tutul dan memerintahkan kedua MTB lainnya mundur untuk menyelamatkan diri. Dalam pertempuran tersebut, akhirnya MTB Macan Tutul bersama Kapten Wiratno dan Komodor Yos Sudarso terbakar dan tenggelam. Dalam rangka konfrontasi, pemerintah mengadakan operasi militer. Operasi militer yang dilaksanakan santara lain Operasi Serigala (di Sorong dan Teminabuan), Operasi Naga (di Merauke), Operasi Banteng Ketaton (di Fak-Fak dan Kaimana), dan Operasi Jaya Wijaya. Operasi yang terakhir dilaksanakan adalah Operasi Wisnumurti. Operasi ini dilaksanakan saat penyerahan Irian Barat kepada RI tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal yang sama Komando Mandala juga secara resmi dibubarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar