A. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan.
Berhasil tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan
peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran
sumber (Sobana Hs, 2008, hal. 4). Menurut Carrard (1992) dan Gee
(1950) dalam(Sjamsuddin, 2007, hal. 86) heuristik (heuristics)
merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan
data-data/materi sejarah/evidensi sejarah. Tahap heuristik ini banyak menyita
waktu, biaya, tenaga, pikiran dan perasaan karena apabila kita mendapatkan yang
dicari maka serasa mendapatkan harta karun, sementara jika sudah bersusah payah
mencari sumber tetapi tidak berhasil maka rasa frustasi akan muncul.
Sumber-sumber sejarah dapat ditemukan di perpustakaan, arsip dan museum,
dimana kekayaan perpustakaan, arsip dan museum dapat diketahui dari
petunjuk-petunjuk, indeks, bibliografi, katalog, majalah, dan jurnal serta
brosur yang meminformasikan kepada sejarawan, peneliti, pengunjung apa saja
yang tersedia dalam perpustakaan, arsip atau museum itu yang berhubungan
dengan literatur atau dokumen sejarah. Pengetahuan praktis mengenai
petunjuk-petunjuk atau indeks-indeks ini dan bagaimana menggunakan perpustakaan
dan arsip adalah syarat mutlak bagi penelitian sejarah. Pengetahuan tersebut
muncul biasanya selama proses pengumpulan materi itu berlangsung (Sjamsuddin,
2007, hal. 121).
Gambar Gedung Arsip Nasional
Gambar Koleksi di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia
Sumber: http://www.pnri.go.id/
B. Kritik
Kritik adalah sebuah kegiatan pengujian secara kritis terhadap
sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, untuk memperoleh otentisitas dan
dan kredibilitas. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data,
sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas
(sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka
tulisan. Kritik sumber dilakukan setelah peneliti berhasil mengumpulkan
sumber-sumber dalam penelitiannya dan tidak menerima begitu saja apa yang tercantum
dan tertulis pada sumber-sumber tersebut dan menyaringnya secara kritis
terutama sumber pertama (Sjamsuddin, 2007, hal. 131). Kritik sumber dilakukan
dilakukan baik terhadap bahan materi maupun terhadap substansi (isi)
sumber.
Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan
kritik internal.
1. Kritik eksternal
Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap
aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007, hal. 132). Sebelum
sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, menurut Lucey (1984) ada
lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan (Sjamsuddin, 2007, hal.
133) yaitu:
Siapa yang mengatakan?
Apakah kesaksian tersebut telah diubah?
Apa yang dimaksud sumber dengan kesaksiannya?
Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata (witness)
yang kompeten (mengetahui fakta yang sebenarnya)
Apakah saksi mengatakan fakta yang sebenarnya (truth) dan memberikan
fakta yang diketahui?
Gambar Sumber Sejarah yang Berasal dari Surat
Kabar
Fungsi kritik eksternal adalah memeriksa sumber sejarah atas dasar dua hal
pertama dan menegakkan sedapat mungkin otentisitas dan integritas dari sumber
tersebut. Kritik eksternal juga harus memperhatikan otentisitas (authenticity),
deteksi sumber palsu, integritas dan penyuntingan. Sebuah sumber sejarah
(catatan harian, surat, buku) adalah otentik atau asli jika itu benar-benar
produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau dari periode yang
dipercayai sebagai masanya jika tidak mungkin menandai pengarangnya).
Langkah yang dilakukan dalam menegakkan otentisitas adalah
mengidentifikasi penulis. Kadang-kadang penulis tidak dapat ditandai karena
banyak dokumen dan penerbitan pertama-tama muncul tidak menggunakan nama
samaran dan penelitian kemudian dapat saja berhasil mengidentifikasi beberapa
penulisnya. Belum ada aturan yang benar-benar baku untuk memutuskan berapa
banyak yang harus dibuktikan sebelum sebuah sumber dapat diterima sebagai
sesuatu yang asli, namun semakin banyak yang diketahui tentang dokumen
tersebut, semakin banyak pula yang dapat digunakan oleh peneliti dari sumber
tersebut (Sjamsuddin, 2007, hal. 134-137).
Keahlian dalam mendeteksi sumber asli diperlukan mengingat kecanggihan
teknologi modern yang memudahkan para pemalsu dokumen untuk melakukan
operasinya. Banyak dokumen rahasia negara terutama yang sedang konflik
dijajakan oleh para pemalsu kepada pihak yang berkepentingan dikatakan asli
padahal palsu (Sjamsuddin, 2007, hal. 137). Dalam mendeteksi sumber maka
haru diperhatikan kriteria fisik (jenis kertas, tinta, cat), garis asal usul
dokumen, tulisan tangan, dan isi dari sumber.
Setelah mendeteksi sumber maka selanjutnya harus diketahui integritasnya.
Integritas disini dapat diartikan bahwa sumber mempunyai otentisitas yang tetap
jika kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa ubah-ubahan mensikipun
ditransmisikan dari masa ke masa (Sjamsuddin, 2007, hal. 140). Ubahan dapat
berupa penambahan, pengurangan, penghilangan atau penggantian dalam teks asli
dan ini mungkin saja disengaja atau tidak disengaja dalam sumber asli atau
dalam salinan aslinya. Ubahan yang sering terjadi diakibatkan oleh kekeliruan
dalam menyalin sehingga secara substansional dapat mengubah arti sebuah teks.
Untuk mencegah kekeliruan tersebut perlu dilakukan kolasi yaitu membandingkan
manuskrip asli dengan salinan oleh seseorang yang membaca naskah asli dan
sejarawan mengikuti naskah salinannya. Jika integritasnya terjaga maka dapat
dikatakan fakta dari kesaksian (fact of testimony) telah ditegakkan bagi
sejarawan (Lucey dalam Sjamsuddin, 2007, hal. 140)).
Dokumen yang diedit secara sembarangan dapat merusak banyak sumber sejarah.
Dokumen memang harus diedit sebagaimana aslinya dan jika ada perubahan,
penyunting harus memberitahukan pembacanya. Aplikasi dari aturan-aturan
sederhana ini menuntut kerajinan yang diteliti dan penyunting dapat menggunakan
tanda-tanda tertentu dalam mengoreksi kesalahan ejaan, istilah, ataupun nama
yang dibuat oleh penulis asli (Sjamsuddin, 2007, hal. 143).
2. Kritik Internal
Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik
eksternal dengan menekankan aspek dalam yaitu isi dari sumber, yaitu kesaksian
(testimony) (Sjamsuddin, 2007, hal. 143). Setelah fakta kesaksian
ditegakkan melalu kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan
evaluasi terhadap kesaksian tersebut apakah reliable atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar