Sukarno barangkali adalah contoh klasik yang tragis: seorang pemimpin idealistis yang dirusak oleh kekuasaan dan dikhianati oleh kebanggaan dirinya yang terlalu besar. Lahir di bawah rasi bintang Gemini, Sukarno memang manusia penuh paradoks, seperti dikatakannya sendiri. “Gemini adalah lambang kekembaran; dua sifat yang berlawanan.” Dia idealistis sekaligus pragmatis. Pemberang sekaligus pemaaf. Ekspresi kata-katanya kasar, tapi dia menyukai seni dan keindahan yang halus.
Dan di balik penampilannya yang sangat percaya diri, langkahnya yang tegap, suaranya yang mengguntur, Sukarno adalah pribadi yang rapuh. Sukarno bermimpi menjadi Hercules seperti yang digambarkan dalam sebuah plakat pada dinding Istana Bogor: bayi Hercules dalam pangkuan ibunya, dikelilingi empat belas bidadari cantik, semuanya telanjang. “Cobalah bayangkan betapa bahagianya dilahirkan di tengah empat belas orang cantik seperti ini.” Keperkasaan Hercules menuntut kasih sayang, haus kelembutan. Sebagai orang yang percaya bisa memindahkan gunung dengan kata-kata, Sukarno membutuhkan dukungan total dari lingkungannya: cinta, pujian, dan penerimaan, jika bukan tepuk tangan.
Di masa kecil, dia memperolehnya dari Sarinah, pembantu rumah tangga yang namanya kemudian dia abadikan dalam judul sebuah bukunya dan pada sebuah toko serba ada di Jalan Thamrin, Jakarta. Dan ketika dewasa, Sukarno memperoleh tenaga Hercules-nya dari Inggit Garnasih, janda dengan usia selosin tahun lebih tua yang dikawininya di Bandung pada 1923. Inggit menjadi sumber semangat yang menyala dan ia menemaninya di masa-masa sulit. Tanpa Inggit, Sukarno barangkali benar-benar habis setelah ditahan di Penjara Sukamiskin dan diasingkan ke Ende. Kesendirian akan mudah membunuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar