A. Sebelum Mengenal Tulisan
Zaman pra-aksara.
Pra-aksara adalah istilah untuk menggantikan istilah prasejarah.Penggunaan istilah prasejarah untuk
menggambarkan perkembangan kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal tulisan adalah
kurang
tepat.
Pra berarti sebelum
dan
sejarah adalah peristiwa
yang terjadi pada masa lalu
yang berhubungan dengan aktifitas dan perilaku manusia, sehingga prasejarah berarti sebelum ada sejarah.
Sebelum ada sejarah berarti sebelum
ada aktivitas kehidupan manusia. Dalam kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia sudah memiliki sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para ahli mempopulerkan istilah pra-aksara untuk
menggantikan istilah prasejarah. Pra-aksara berasal
dari dua
kata, yakni pra
yang
berarti sebelum dan aksara yang
berarti tulisan. Dengan demikian zaman pra-aksara adalah
masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah pra-aksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka berarti tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan
manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita temukan. Kapan waktu dimulainya zaman pra-aksara?
Kapan zaman pra-aksara
itu berakhir? Zaman pra-aksara
dimulai sudah tentu sejak manusia ada, itulah titik dimulainya masa pra-aksara.Zaman
pra-aksara berakhir setelah manusianya mulai mengenal
tulisan.
B.
Terbentuknya Kepulauan Indonesia
Salah satu di antara
teori
ilmiah tentang
terbentuknya bumi adalah Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), yang dikemukakan
oleh sejumlah ilmuwan, misalnya ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking. Teori ini
menyatakan bahwa
alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi
seluruh ruang jagad
raya. Jika digunakan teleskop
besar
Mount
Wilson untuk mengamatinya akan terlihat
ruang
jagad
raya itu luasnya mencapai radius 500.000.000 tahun cahaya. Gumpalan gas itu suatu
saat
meledak
dengan satu
dentuman yang amat dahsyat.
Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta
mulai berdesakan satu sama
lain dalam kondisi
suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya
tersisa energi berupa proton, neutron dan
elektron, yang bertebaran
ke seluruh arah. Ledakan
dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam semesta yang
menyebar dan menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi, bintang-bintang,
matahari, planet-planet, bumi, bulan
dan meteorit. Bumi
kita hanyalah salah satu titik kecil saja di
antara tata surya yang mengisi
jagad semesta.
Selanjutnya proses evolusi alam semesta
itu memakan waktu kosmologis yang
sangat lama sampai berjuta tahun.
Terjadinya evolusi
bumi
sampai adanya
kehidupan
memakan
waktu yang sangat
panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam enam tahap waktu geologis. Masing-masing ditandai oleh peristiwa
alam yang menonjol, seperti munculnya
gunung-gunung, benua, dan makhluk hidup yang paling sederhana. Sedangkan proses evolusi
bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut:
1. Azoikum (Yunani: a = tidak; zoon = hewan), yaitu zaman
sebelum adanya kehidupan. Pada saat ini bumi baru terbentuk dengan suhu yang relatif
tinggi. Waktunya
lebih dari satu miliar tahun lalu.
2. Palaezoikum,
yaitu zaman purba
tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil flora dan fauna.
Berlangsung kira-kira 350.000.000 tahun.
3. Mesozoikum, yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia (menyusui), hewan amfibi,
burung dan tumbuhan
berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira
140.000.000 tahun.
4. Neozoikum, yaitu zaman purba
baru,
yang dimulai sejak 60.000.000 tahun yang lalu.
Zaman ini
dapat dibagi lagi
menjadi dua tahap (Tersier
dan Quarter).
Zaman es mulai menyusut dan makhluk-makhluk tingkat tinggi dan manusia
mulai hidup.
Merujuk pada tarikh bumi di
atas, sejarah di Kepulauan Indonesia terbentuk
melalui proses yang
panjang
dan
rumit.
Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan flora dan fauna yang masih sangat
kecil
dan sederhana.
C. Asal usung nenek Moyang Bangsa
Indonesia (Proto-Melayu, Deutro Melayu,
dan Melanesoid)
Penduduk asli kepulauan Indonesia
menurut Sarasin bersaudara adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil.
Mulanya mereka tinggal di Asia bagian tenggara. Namun, ketika zaman es mencair
dan air laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa sehingga
memisahkan penggunungan vulkanik kepulauan Indonesia dari daratan utama.
Setelah itu, beberapa penduduk asli kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di
daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk
pendatang. Oleh Sarasin, penduduk asli tersebut disebut sebagai suku bangsa
Vedda. Ras yang masuk dalam kelompok tersebut, seperti suku bangsa Hieng di
Kamboja, suku bangsa Miaotse Yao-Jen di Cina, dan suku bangsa Senoi di
Semenanjung Malaya.
Para pendatang berikutnya membawa
budaya baru yaitu budaya neolitik. Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada
penduduk asli. Para pendatang tersebut datang dalam dua tahap. Oleh Sarasin
para pendatang tersebut disebut sbagai Proto-Melayu dan Deutro Melayu.
Kedatangan Proto-Melayu dan Deutro Melayu terpisah dan diperkirakan lebih dari
2000 tahun yang lalu.
1. Proto-Melayu
Diperkirakan
Proto-Melayu datang dari Cina bagian selatan. Proto-Melayu tersebut diyakini
sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar
sampai ke pulau-pulau paling timur di Pasifik. Ras Melayu tersebut mempunyai
ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecokelat-cokelatan, dan bermata sipit.
Dari Cina bagian selatan (Yunan), Proto-Melayu berimigrasi ke Indocina dan ke
Siam, kemudian ke kepulauan Indonesia. Mula-mula Proto-Melayu tersebut
menempati pantai-pantai Sumatra Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Di
Kepulauan Indonesia, Proto-Melayu membawa peradaban batu.
Pada waktu datang para imigran
baru (Deutro Melayu atau ras Melayu Muda), Proto-Melayu berpindah masuk ke
pedalaman dan mencari tempat baru ke hutan-hutan untuk tempat hunian.
Kedatangan Proto-Melayu terisolasi dari dunia luar dan peradaban mereka
memudar. Setelah itu, antara penduduk asli dan Proto-Melayu melebur dan mereka
kemudian menjadi suku bangsa Batak, suku bangsa Dayak, suku bangsa Toraja, suku
bangsa Alas, dan suku bangsa Gayo.
Adanya kehidupan ras Proto-Melayu
yang terisolasi menyebabkan ras Proto-Melayu sedikit mendapat pengaruh dari
kebudayaan Hindu maupun kebudayaan Islam di kemudian hari. Kelak para ras
Proto-Melayu mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil
yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban
baru.
Adanya persebaran suku bangsa
Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka menunjukkan rute
perpindahan mereka dari kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang
mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Ada
beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Karen di Burma yang
banyak mengandung kemiripan dengan bahasa batak.
2.
Deutro Melayu
Deutro
Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian selatan. Di kepulauan
Indonesia, Deutro Melayu membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi
(kebudayaan Dongson). Deutro Melayu sering disebut dengan orang-orang Dongson.
Bila dibandingkan dengan ras Proto-Melayu, peradaban Deutro Melayu lebih tinggi.
Deutro Melayu membuat perkakas dari perunggu. Peradaban Deutro Melayu ditandai
dengan keahlian mereka mengerjakan logam dengan sempurna.
Perpindahan
Deutro Melayu ke kepulauan Indonesia dapat dilihat dari rute persebaran
alat-alat yang ditinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia. Alat yang
mereka tinggalkan berupa kapak persegi panjang. Peradaban tersebut dapat
dijumpai di Malaka, Sumatra, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa
Tenggara Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah,
Deutro Melayu mempunyai kemampuan membuat irigasi di tanah-tanah pertanian.
Sebelum mereka membuat irigasi, mereka terlebih dahulu membabat hutan. Selain
itu, ras Deutro Melayu juga mempunyai peradaban pelayaran yang lebih maju bila
dibandingkan dengan pendahulunya. Hal tersebut karena petualangan yang
dilakukan Deutro Melayu sebagai pelaut dan dibantu dengan penguasaan mereka
terhadap ilmu perbintangan.
Perpindahan
yang dilakukan Deutro Melayu ada juga yang menggunakan jalur pelayaran laut.
Sebagin dari ras Deutro Melayu ada yang mencapai kepulauan Jepang, bahkan ada
yang hingga ke Madagaskar. Kedatangan ras Deutro Melayu semakin lama semakin
banyak di kepulauan Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Proto-Melayu dan
Deutro Melayu membaur dan kemudian menjadi penduduk di kepulauan Indonesia.
Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara serta
Toraja di Sulawesi. Semua penduduk di kepulauan Indonesia, kecuali penduduk
papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua adalah ras Deutro Melayu.
3.
Melanesoid
Selain
Proto-Melayu dan Deutro Melayu, di Indonesia juga ada ras lain yaitu ras
Melanesoid. Ras Melanesoid tersebar di Lautan Pasifik di pulau-pulau yang
letaknya sebelah Timur Irian dan Benua Australia. Ras Melanesoid di kepulauan
Indonesia tinggal di Papua. Suku bangsa Melanesoid menurut Daldjoeni sekitar
70% menetap di Papua dan yang 30% tinggal di beberapa kepulauan di sekitar
Papua dan Papua Nugini. Pada awalnya, kedatangan bangsa Melanesoid di Papua
berawal ketika zaman es berakhir (tahun 70000 SM). Ketika itu kepulauan
Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan
maksimal dan air laut menjadi beku, maka permukaan laut menjadi lebih rendah
100 m dibandingkan dengan permukaan saat ini. Pada saat tersebut muncul
pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau baru tersebut memudahkan makhluk hidup
berpindah dari Asia menuju ke kawasan Oseania.
Bangsa
Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga sampai ke Papua dan kemudian
ke Benua Australia yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubungkan
dengan Papua. Pada waktu itu, bangsa Melanesoid mencapai 100 jiwa yang meliputi
wilayah Papua dan Australia. Pada waktu masa es berakhir dan air laut mulai
naik lagi pada tahun 5000 SM, kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah
seperti yang kita lihat saat ini. Adapun asal mula bangsa Melanesoid
adalah Proto Melanesoid. Proto Melanesoid tersebut adalah manusia Wajak yang
tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum
kenaikan permukaan laut yang terjadi pada waktu itu. Manusia Wajak di Papua
hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Manusia Wajak
tersebut hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta
akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggalnya berupa
perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan. Sebenarnya
rumah tersebut hanya kemah atau tadah angina yang sering menempel pada dinding
gua yang besar. Kemah atau tadah angina tersebut hanya digunakan sebagai tempat
untuk tidur dan untuk berlindung, sedangkan untuk aktivitas yang lain dilakukan
di luar rumah.
Setelah
itu, bangsa Proto Melanesoid terdesak oleh bangsa Melayu. Bangsa Proto
Melanesoid yang belum sempat mencapai kepulauan Papua melakukan pencampuran
dengan bangsa Melayu. Pencampuran kedua bangsa tersebut menghasilkan keturunan
Melanesoid-Melayu yang saat ini merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan
Maluku.
D.
Mengenal manusia purba
1.
Sangiran
Situs
Sangiran tidak hanya memberikan gambaran
tentang
evolusi
fisik manusia
saja,
akan tetapi juga memberikan gambaran
nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan
juga lingkungan. Beberapa fosil
yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama
lebih dari
dua
juta
tahun,
menunjukkan tentang hal itu. Situs
Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi
manusia di dunia. Situs itu
ditetapkan secara resmi
sebagai Warisan Dunia pada 1996,
yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
Pada 1934,
Gustav Heindrich
Ralph von
Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang
terletak
sekitar
dua
km di barat
laut kubah
Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian
menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-
penemuan fosil Homo erectus
secara sporadis dan berkesinambungan.
Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah
manusia,
sebelum
masuk
pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia
modern.
Gambar fosil manusia purba di
samping, merupakan fosil yang disebut sebagai Sangiran 17 sesuai dengan nomor
seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di
Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah
Sangiran. Fosil itu merupakan dua diantara Homo erectus di dunia yang
masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di
Afrika.
2.
Trinil, Ngawi Jawa Timur
Sebelum penemuannya di
Trinil, Eugene
Dubois mengawali
temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah
Pilangkenceng, Madiun,
Jawa Timur. Desa itu berada tepat
di tengah hutan jati di lereng
selatan Pegunungan
Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan
berfosil di
Kedungbrubus ditemukan sebuah
fragmen
rahang
yang pendek dan
sangat
kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa.
Prageraham itu menunjukkan
ciri
gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen
rahang
bawah
tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian
dikenal dengan Pithecantropus A.
Trinil adalah sebuah desa di
pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von
Koeningswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh
Eugene
Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba.yang
sangat berharga
bagi dunia pengetahuan.
Penggalian Dubois dilakukan
pada endapan alluvial
Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap
tengkorak Pithecanthropus erectus,
dan beberapa
buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di
Perning, Mojokerto, Jawa
Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan
Sambungmacan, Sragen,
Jawa Tengah. Temuan berupa
tengkorak anak-anak berusia
sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk
dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan.
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong,
yaitu
sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong
berukuran
besar
dengan volume otak rata-rata 1.100
cc. Ciri-ciri
ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang
ada di Sangiran. Manusia
Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis manusia purba yang pernah
hidup di zaman pra-aksara:
1.
Meganthropus Palaeojavanicus,
Jenis manusia purba ini
terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan
1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi
ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia
ini
dengan sebutan
Meganthropus
paleojavanicus, artinya
manusia raksasa dari Jawa.
Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal. Jenis manusia purba ini memiliki ciri
Ciri-cirinya :
1.
Bertubuh
kekar
2.
Rahang
dan gerahamnya besar
3.
Tidak
berdagu
4.
Diperkirakan
hidup 2-1 juta tahun yang lalu
5.
Pemakan
tumbuhan
2. Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan
pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat
Trinil, sebuah
desa di
pinggiran Bengawan
Solo, di
wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi
masih terlihat tanda- tanda kera.
Oleh karena itu
jenis
ini
dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya
manusia
kera yang
berjalan
tegak.
Jenis
ini
juga ditemukan
di Mojokerto,
sehingga disebut
Pithecanthropus mojokertensis. Jenis
manusia
purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling
banyak
ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah Ciri-cirinya :
1.
Pada
tengkorak, tonjolan keningnya tebal
2.
Hidungnya
lebar, dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
3.
Tinggi
sekitar 16-180cm
4.
Pemakan
tumbuhan dan daging
5.
Memiliki
rahang bawah yang kuat
6.
Memiliki
tulang pipi yang tebal
7.
Tulang
belakang menonjol dan tajam
8.
Perawakannya
tegap, mempunyai tempat perlekatan otot tengkuk yang besar dan kuat
3. Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan
sebagai jenis Homo.
Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi
fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak
jauh berbeda dengan
manusia modern.
Kadang-
kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berfikir dan menyiasati tantangan alam.
Ciri-cirinya:
1.
Muka
lebar dengan hidung yang lebar
2.
Mulutnya
menonjol
3.
Dahinya
juga masih menonjol
4.
Bentuk
fisiknya sudah seperti manusia sekarang
5.
Tingginya
130-210 cm
6.
Berat
badan 30-150 kg
7.
Hidupnya
sekitar 40.000-25.000 tahun yang lalu.
E. Corak Kehidupan
Manusia Praaksara
1. Pola Hunian
Pola hunian
manusia purba yang memperlihatkan dua karakter khas
hunian
purba
yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di
alam
terbuka. Pola hunian
itu dapat
dilihat dari letak geografis
situs-situs serta
kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang
menunjukkan pola hunian
seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang
aliran Bengawan Solo (Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong)
merupakan contoh-
contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai.
Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan
maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan
mengundang hadirnya berbagai
binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu
pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan
bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui
sungai, manusia dapat melakukan
mobilitas
dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
2. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil
maupun artefak lainnya, diperkirakan manusia
zaman pra-aksara mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup
mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup nomaden atau
berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih sederhana. Masa manusia purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa
food
gathering.
Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi makanan
karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan
bahan makanan. Dalam perkembangannya
mulai ada sekelompok manusia
purba yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan
dari food gathering menuju food producing dengan Homo
sapien sebagai pendukungnya. Mereka
tidak hanya mengumpulkan makanan
tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan bercocok
tanam
dilakukan ketika mereka sudah mulai
bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong manusia purba untuk
melakukan cocok tanam. Kegiatan manusia bercocok tanam terus mengalami perkembangan.
Peralatan pokoknya adalah
jenis kapak persegi
dan kapak lonjong.
Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik.
Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani.
1. Sistem
Kepercayaan
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan
kehidupan setelah mati. Mereka
percaya pada kekuatan lain yang maha kuat di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah bagaimana
sistem kepercayaan manusia zaman pra-aksara, yang menjadi nenek moyang
kita. Perwujudan kepercayaannya
dituangkan dalam berbagai bentuk
diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal
untuk orang yang meninggal.
Pada zaman purba manusia
mengenal penguburan mayat.
Pada saat inilah manusia mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya
dengan membuat berbagai berbagai bekal kubur yang menghasilkan karya seni cukup bagus pada masa sekarang.
Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir
dan
lain
sebagainya.
Masyarakat zaman pra-aksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami
adanya kehidupan
setelah mati.
Mereka meyakini
bahwa roh
seseorang yang
telah
meninggal
akan
ada
kehidupan di alam lain.
Oleh karena itu, roh
orang
yang
sudah
meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol
adalah upacara penguburan orang
meninggal. Dalam
tradisi penguburan ini, jenazah orang yang
telah
meninggal dibekali
berbagai
benda dan peralatan kebutuhan
sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan,
periuk dan lain-lain yang dikubur
bersama mayatnya. Hal ini
dimaksudkan
agar perjalanan arwah
orang
yang meninggal
selamat dan terjamin dengan baik. Dalam
upacara penguburan
ini semakin kaya
orang
yang
meninggal maka upacaranya
juga
semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.
Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacara- upacara pesta untuk
mendirikan
bangunan suci. Mereka percaya
manusia yang meninggal akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada
susunan batu-batu besar, misalnya
pada peti batu
atau sarkofagus.
Batu-batu besar ini menjadi lambang
perlindungan
bagi
manusia yang berbudi luhur juga memberi
peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat
dicapai sesuai
dengan perbuatan baik selama
hidup di dunia. Hal ini
sangat tergantung pada kegiatan upacara
kematian yang pernah dilakukan
untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara
kematian merupakan
manifestasi dari rasa
bakti
dan
hormat
seseorang terhadap leluhurnya
yang
telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat pra-aksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum =
zaman
batu
besar).
Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus.
Sistem kepercayaan dan tradisi batu besar seperti dijelaskan di atas,
telah mendorong berkembangnya
kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh
nenek
moyang.
Di
samping animisme, muncul
juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu
sangat dihormati dan dikeramatkan.
Silakan mampir pak
BalasHapushttps://www.duniasejarah25.com/