Kamis, 08 Februari 2018

Indonesia Zaman Praaksara: Awal Kehidupan Manusia Indonesia



A. Sebelum Mengenal Tulisan
Zaman  pra-aksara. Pra-aksara adalah istilah untuk menggantikan istilah prasejarah.Penggunaan istilah prasejarah  untuk menggambarkan perkembangan kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal tulisan   adalah   kurang   tepat.  Pra berarti   sebelum   dan   sejarah adalah  peristiwa  yang  terjadi  pada  masa  lalu yang  berhubungan dengan aktifitas dan perilaku manusia,  sehingga  prasejarah  berarti sebelum  ada  sejarah.  Sebelum  ada  sejarah  berarti  sebelum  ada aktivitas kehidupan manusia.  Dalam kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia sudah memiliki sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para ahli mempopulerkan istilah pra-aksara  untuk  menggantikan istilah prasejarah. Pra-aksara   berasal   dari  dua   kata,   yakni  pra  yang  berarti sebelum  dan  aksara yang berarti  tulisan. Dengan  demikian zaman pra-aksara   adalah   masa  kehidupan  manusia  sebelum  mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah pra-aksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa  dan leka berarti tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan manusia  adalah  dengan melihat  beberapa sisa peninggalan yang dapat  kita temukan. Kapan  waktu  dimulainya zaman  pra-aksara? Kapan  zaman  pra-aksara  itu berakhir?  Zaman  pra-aksara  dimulai sudah  tentu  sejak manusia ada,  itulah  titik dimulainya  masa  pra-aksara.Zaman pra-aksara berakhir  setelah manusianya mulai mengenal tulisan.

B. Terbentuknya Kepulauan Indonesia
Salah  satu  di antara  teori  ilmiah tentang terbentuknya bumi  adalah  Teori   “Dentuman Besar”  (Big  Bang), yang   dikemukakan  oleh   sejumlah   ilmuwan,   misalnya  ilmuwan besar Inggris, Stephen  Hawking. Teori ini menyatakan bahwa  alam semesta  mulanya  berbentuk gumpalan gas  yang  mengisi  seluruh ruang  jagad  raya.  Jika digunakan teleskop  besar  Mount  Wilson untuk  mengamatinya akan  terlihat  ruang  jagad  raya  itu  luasnya mencapai   radius  500.000.000 tahun   cahaya.  Gumpalan   gas  itu suatu  saat  meledak  dengan satu  dentuman yang  amat  dahsyat. Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta  mulai berdesakan satu  sama  lain dalam  kondisi  suhu  dan  kepadatan yang  sangat tinggi,  sehingga  hanya  tersisa energi  berupa  proton,  neutron dan elektron,  yang bertebaran ke seluruh arah. Ledakan  dahsyat   itu  menimbulkan gelembung-gelembung alam   semesta yang  menyebar dan  menggembung  ke  seluruh penjuru,  sehingga  membentuk galaksi, bintang-bintang, matahari, planet-planet, bumi, bulan dan meteorit.  Bumi kita hanyalah salah satu titik kecil saja di antara  tata surya yang mengisi jagad semesta.
Selanjutnya proses evolusi alam semesta  itu memakan waktu kosmologis  yang  sangat   lama  sampai  berjuta   tahun.   Terjadinya evolusi  bumi  sampai   adanya   kehidupan  memakan  waktu   yang sangat  panjang. Ilmu paleontologi  membaginya dalam enam tahap waktu  geologis.  Masing-masing  ditandai  oleh peristiwa alam yang menonjol, seperti munculnya gunung-gunung, benua,  dan makhluk hidup yang paling sederhana. Sedangkan proses evolusi bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut:
1.      Azoikum (Yunani: a =  tidak;  zoon  =  hewan),  yaitu  zaman sebelum adanya kehidupan. Pada saat ini bumi baru terbentuk dengan suhu  yang  relatif  tinggi.  Waktunya  lebih  dari  satu miliar tahun  lalu.
2.      Palaezoikum,  yaitu zaman  purba  tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan  fosil flora  dan  fauna.   Berlangsung  kira-kira 350.000.000 tahun.
3.      Mesozoikum, yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia  (menyusui), hewan  amfibi,  burung  dan  tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140.000.000 tahun.
4.      Neozoikum,  yaitu  zaman   purba   baru,   yang  dimulai  sejak 60.000.000 tahun   yang  lalu.  Zaman  ini dapat   dibagi  lagi menjadi dua tahap  (Tersier dan Quarter). Zaman es mulai menyusut  dan makhluk-makhluk  tingkat  tinggi dan manusia mulai hidup.

Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah di Kepulauan Indonesia   terbentuk  melalui   proses   yang   panjang   dan   rumit. Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan flora  dan  fauna   yang  masih  sangat   kecil dan  sederhana.

C. Asal usung nenek Moyang Bangsa Indonesia (Proto-Melayu, Deutro Melayu, dan Melanesoid)
Penduduk asli kepulauan Indonesia menurut Sarasin bersaudara adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mulanya mereka tinggal di Asia bagian tenggara. Namun, ketika zaman es mencair dan air laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa sehingga memisahkan penggunungan vulkanik kepulauan Indonesia dari daratan utama. Setelah itu, beberapa penduduk asli kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Oleh Sarasin, penduduk asli tersebut disebut sebagai suku bangsa Vedda. Ras yang masuk dalam kelompok tersebut, seperti suku bangsa Hieng di Kamboja, suku bangsa Miaotse Yao-Jen di Cina, dan suku bangsa Senoi di Semenanjung Malaya.
Para pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu budaya neolitik. Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Para pendatang tersebut datang dalam dua tahap. Oleh Sarasin para pendatang tersebut disebut sbagai Proto-Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan Proto-Melayu dan Deutro Melayu terpisah dan diperkirakan lebih dari 2000 tahun yang lalu.

1. Proto-Melayu
Diperkirakan Proto-Melayu datang dari Cina bagian selatan. Proto-Melayu tersebut diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai ke pulau-pulau paling timur di Pasifik. Ras Melayu tersebut mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecokelat-cokelatan, dan bermata sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan), Proto-Melayu berimigrasi ke Indocina dan ke Siam, kemudian ke kepulauan Indonesia. Mula-mula Proto-Melayu tersebut menempati pantai-pantai Sumatra Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Di Kepulauan Indonesia, Proto-Melayu membawa peradaban batu.
Pada waktu datang para imigran baru (Deutro Melayu atau ras Melayu Muda), Proto-Melayu berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat baru ke hutan-hutan untuk tempat hunian. Kedatangan Proto-Melayu terisolasi dari dunia luar dan peradaban mereka memudar. Setelah itu, antara penduduk asli dan Proto-Melayu melebur dan mereka kemudian menjadi suku bangsa Batak, suku bangsa Dayak, suku bangsa Toraja, suku bangsa Alas, dan suku bangsa Gayo.
Adanya kehidupan ras Proto-Melayu yang terisolasi menyebabkan ras Proto-Melayu sedikit mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu maupun kebudayaan Islam di kemudian hari. Kelak para ras Proto-Melayu mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban baru.
Adanya persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka menunjukkan rute perpindahan mereka dari kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Ada beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Karen di Burma yang banyak mengandung kemiripan dengan bahasa batak.

2. Deutro Melayu
Deutro Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian selatan. Di kepulauan Indonesia, Deutro Melayu membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi (kebudayaan Dongson). Deutro Melayu sering disebut dengan orang-orang Dongson. Bila dibandingkan dengan ras Proto-Melayu, peradaban Deutro Melayu lebih tinggi. Deutro Melayu membuat perkakas dari perunggu. Peradaban Deutro Melayu ditandai dengan keahlian mereka mengerjakan logam dengan sempurna.
Perpindahan Deutro Melayu ke kepulauan Indonesia dapat dilihat dari rute persebaran alat-alat yang ditinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia. Alat yang mereka tinggalkan berupa kapak persegi panjang. Peradaban tersebut dapat dijumpai di Malaka, Sumatra, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah, Deutro Melayu mempunyai kemampuan membuat irigasi di tanah-tanah pertanian. Sebelum mereka membuat irigasi, mereka terlebih dahulu membabat hutan. Selain itu, ras Deutro Melayu juga mempunyai peradaban pelayaran yang lebih maju bila dibandingkan dengan pendahulunya. Hal tersebut karena petualangan yang dilakukan Deutro Melayu sebagai pelaut dan dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan.
Perpindahan yang dilakukan Deutro Melayu ada juga yang menggunakan jalur pelayaran laut. Sebagin dari ras Deutro Melayu ada yang mencapai kepulauan Jepang, bahkan ada yang hingga ke Madagaskar. Kedatangan ras Deutro Melayu semakin lama semakin banyak di kepulauan Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Proto-Melayu dan Deutro Melayu membaur dan kemudian menjadi penduduk di kepulauan Indonesia. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara serta Toraja di Sulawesi. Semua penduduk di kepulauan Indonesia, kecuali penduduk papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua adalah ras Deutro Melayu.

3. Melanesoid
Selain Proto-Melayu dan Deutro Melayu, di Indonesia juga ada ras lain yaitu ras Melanesoid. Ras Melanesoid tersebar di Lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan Benua Australia. Ras Melanesoid di kepulauan Indonesia tinggal di Papua. Suku bangsa Melanesoid menurut Daldjoeni sekitar 70% menetap di Papua dan yang 30% tinggal di beberapa kepulauan di sekitar Papua dan Papua Nugini. Pada awalnya, kedatangan bangsa Melanesoid di Papua berawal ketika zaman es berakhir (tahun 70000 SM). Ketika itu kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal dan air laut menjadi beku, maka permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan dengan permukaan saat ini. Pada saat tersebut muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau baru tersebut memudahkan makhluk hidup berpindah dari Asia menuju ke kawasan Oseania.
Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga sampai ke Papua dan kemudian ke Benua Australia yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubungkan dengan Papua. Pada waktu itu, bangsa Melanesoid mencapai 100 jiwa yang meliputi wilayah Papua dan Australia. Pada waktu masa es berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 SM, kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah seperti yang kita lihat saat  ini. Adapun asal mula bangsa Melanesoid adalah Proto Melanesoid. Proto Melanesoid tersebut adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi pada waktu itu. Manusia Wajak di Papua hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Manusia Wajak tersebut hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggalnya berupa perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan. Sebenarnya rumah tersebut hanya kemah atau tadah angina yang sering menempel pada dinding gua yang besar. Kemah atau tadah angina tersebut hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan untuk berlindung, sedangkan untuk aktivitas yang lain dilakukan di luar rumah.
Setelah itu, bangsa Proto Melanesoid terdesak oleh bangsa Melayu. Bangsa Proto Melanesoid yang belum sempat mencapai kepulauan Papua melakukan pencampuran dengan bangsa Melayu. Pencampuran kedua bangsa tersebut menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu yang saat ini merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

D. Mengenal manusia purba
1. Sangiran
Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran  tentang  evolusi  fisik  manusia   saja, akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya,  binatang, dan juga lingkungan.  Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang  diendapkan tanpa terputus selama  lebih    dari    dua    juta    tahun, menunjukkan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia.  Situs itu  ditetapkan secara  resmi  sebagai Warisan Dunia pada 1996,  yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
Pada   1934,  Gustav  Heindrich Ralph  von  Koeningswald   menemukan  artefak   litik di wilayah Ngebung  yang  terletak  sekitar  dua  km  di barat   laut  kubah   Sangiran.  Artefak  litik itulah  yang kemudian  menjadi temuan penting  bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi  sangat  terkenal  berkaitan  dengan penemuan- penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting  dalam  sejarah  manusia,  sebelum  masuk  pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Gambar fosil manusia purba di samping, merupakan fosil yang disebut sebagai Sangiran 17 sesuai dengan nomor seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua diantara Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.

2. Trinil, Ngawi Jawa Timur
Sebelum  penemuannya di Trinil, Eugene  Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah  desa terpencil  di daerah  Pilangkenceng, Madiun,  Jawa  Timur. Desa itu berada  tepat  di tengah hutan  jati di lereng  selatan  Pegunungan Kendeng.  Pada  saat  Dubois  meneliti  dua  horizon/lapisan  berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah  fragmen  rahang  yang pendek dan  sangat  kekar,  dengan sebagian  prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa   fragmen   rahang   bawah   tersebut  milik rahang    hominid. Pithecantropus itu   kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan  purbakala  telah lebih dulu  ditemukan di daerah ini jauh sebelum von  Koeningswald menemukan Sangiran pada  1934.  Ekskavasi yang dilakukan   oleh   Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba.yang sangat  berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan  ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan  beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto,  Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa  Tengah; dan  Sambungmacan, Sragen,  Jawa  Tengah. Temuan berupa  tengkorak anak-anak berusia  sekitar 5 tahun  oleh penduduk yang sedang  membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu  untuk  dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan.
Temuan Homo  erectus  juga  ditemukan di Ngandong,  yaitu sebuah   desa  di  tepian   Bengawan   Solo,  Kabupaten  Blora,  Jawa Tengah.  Tengkorak  Homo   erectus   Ngandong  berukuran  besar dengan volume otak  rata-rata 1.100  cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo  erectus  ini  lebih  maju  bila  dibandingkan dengan  Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur  antara  300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan  beberapa penelitian  yang  dilakukan  oleh  para ahli, dapatlah direkonstruksi   beberapa jenis manusia  purba  yang pernah  hidup di zaman pra-aksara:
1.      Meganthropus Palaeojavanicus,
Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi  ini kemudian para ahli menamakan jenis  manusia  ini  dengan  sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Masa hidupnya diperkirakan  pada zaman Pleistosen Awal. Jenis manusia purba ini memiliki ciri
Ciri-cirinya :
1.      Bertubuh kekar
2.      Rahang dan gerahamnya besar
3.      Tidak berdagu
4.      Diperkirakan hidup 2-1 juta tahun yang lalu
5.      Pemakan tumbuhan
2.      Pithecanthropus
Jenis manusia  ini didasarkan  pada penelitian  Eugene Dubois tahun 1890 di dekat  Trinil,  sebuah  desa  di  pinggiran  Bengawan  Solo,  di  wilayah  Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda- tanda  kera.  Oleh  karena  itu  jenis  ini  dinamakan  Pithecanthropus erectus, artinya  manusia  kera  yang  berjalan  tegak.  Jenis  ini  juga  ditemukan  di Mojokerto,  sehingga  disebut  Pithecanthropus mojokertensis. Jenis  manusia purba  yang juga  terkenal  sebagai  rumpun  Homo erectus ini paling  banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah Ciri-cirinya :
1.      Pada tengkorak, tonjolan keningnya tebal
2.      Hidungnya lebar, dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
3.      Tinggi sekitar 16-180cm
4.      Pemakan tumbuhan dan daging
5.      Memiliki rahang bawah yang kuat
6.      Memiliki tulang pipi yang tebal
7.      Tulang belakang menonjol dan tajam
8.      Perawakannya tegap, mempunyai tempat perlekatan otot tengkuk yang besar dan kuat
3.      Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Homo sapiens artinya manusia sempurna baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang  secara  umum  tidak  jauh  berbeda  dengan  manusia  modern.  Kadang- kadang Homo sapiens juga diartikan dengan manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berfikir dan menyiasati  tantangan  alam.
Ciri-cirinya:
1.    Muka lebar dengan hidung yang lebar
2.    Mulutnya menonjol
3.    Dahinya juga masih menonjol
4.    Bentuk fisiknya sudah seperti manusia sekarang
5.    Tingginya 130-210 cm
6.    Berat badan 30-150 kg
7.    Hidupnya sekitar 40.000-25.000 tahun yang lalu.

E. Corak Kehidupan Manusia Praaksara
1. Pola Hunian
Pola  hunian   manusia  purba   yang  memperlihatkan dua karakter  khas  hunian  purba  yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air  dan  (2)  kehidupan  di  alam  terbuka.   Pola  hunian   itu  dapat dilihat dari letak geografis  situs-situs serta  kondisi lingkungannya. Beberapa contoh  yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong)  merupakan contoh- contoh   dari  adanya   kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat  dipahami mengingat keberadaan  air  memberikan   beragam  manfaat.  Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada  suatu  lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan  kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai,  manusia  dapat  melakukan  mobilitas  dari  satu  tempat ke tempat yang lainnya.
2. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud  fosil maupun artefak  lainnya, diperkirakan manusia zaman pra-aksara  mula-mula hidup dengan cara berburu  dan meramu.  Hidup mereka  umumnya masih  tergantung pada  alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka  menerapkan pola hidup  nomaden atau  berpindah-pindah tergantung dari bahan  makanan yang tersedia.  Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih sederhana. Masa manusia purba berburu  dan meramu  itu sering disebut dengan masa  food  gathering. Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat  mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing  dengan Homo  sapien  sebagai  pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan makanan tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan  bercocok  tanam  dilakukan ketika  mereka sudah  mulai  bertempat tinggal,  walaupun  masih bersifat  sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah  setelah  tersiram  air hujan. Pelajaran  inilah yang kemudian mendorong manusia purba   untuk   melakukan cocok tanam. Kegiatan manusia bercocok tanam terus mengalami perkembangan.  Peralatan   pokoknya   adalah   jenis  kapak  persegi dan kapak  lonjong.  Kemudian  berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya  air yang cukup maka terjadilah  persawahan untuk  bertani.
1.      Sistem Kepercayaan  
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati.  Mereka  percaya  pada  kekuatan lain yang maha  kuat  di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah bagaimana sistem kepercayaan manusia zaman pra-aksara, yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan   kepercayaannya dituangkan  dalam  berbagai   bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi  sebagai  bekal untuk orang yang meninggal. Pada zaman purba manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat berbagai berbagai bekal kubur yang menghasilkan karya seni cukup  bagus  pada  masa  sekarang. Untuk  itulah  kita mengenal dolmen,  sarkofagus,  menhir  dan  lain sebagainya.
Masyarakat zaman pra-aksara  terutama periode  zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami  adanya   kehidupan  setelah   mati.   Mereka   meyakini bahwa  roh  seseorang yang  telah  meninggal  akan  ada  kehidupan di alam  lain. Oleh  karena  itu,  roh  orang  yang  sudah  meninggal akan senantiasa dihormati  oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan  ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan  orang   meninggal.   Dalam  tradisi  penguburan  ini, jenazah   orang   yang  telah   meninggal   dibekali  berbagai   benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan,  periuk  dan  lain-lain yang  dikubur  bersama  mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan  arwah  orang  yang meninggal selamat  dan  terjamin  dengan baik.  Dalam  upacara   penguburan ini semakin  kaya  orang  yang  meninggal   maka  upacaranya  juga semakin  mewah.  Barang-barang berharga yang ikut dikubur  juga semakin banyak.
Selain upacara-upacara penguburan, juga ada  upacara- upacara  pesta  untuk  mendirikan  bangunan suci. Mereka  percaya manusia yang meninggal  akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada  susunan   batu-batu besar,  misalnya pada peti batu  atau sarkofagus.
Batu-batu   besar   ini  menjadi   lambang   perlindungan  bagi manusia   yang  berbudi   luhur  juga  memberi   peringatan  bahwa kebaikan  kehidupan di akhirat  hanya  akan  dapat   dicapai  sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia.  Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara  kematian yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena  itu, upacara  kematian merupakan  manifestasi   dari  rasa   bakti   dan   hormat   seseorang terhadap   leluhurnya    yang    telah    meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat  pra-aksara  yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman    megalitikum    =   zaman    batu    besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti  menhir, dolmen,  punden berundak, dan sarkofagus.      
Sistem  kepercayaan dan  tradisi batu besar  seperti  dijelaskan di atas,  telah  mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem  kepercayaan yang  memuja  roh  nenek  moyang.  Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme.  Menurut kepercayaan dinamisme ada  benda-benda tertentu yang  diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga  benda  itu sangat  dihormati  dan dikeramatkan.

1 komentar: